Pada suatu siang yang cerah pada hari Jumat yang lalu, tanggal 06 Desember 2024, saya mendapat kehormatan diundang oleh Bapak Yogi Suwarno, Ph.D, Kepala Pusat Pembinaan Analis Kebijakan, Lembaga Administrasi Negara. Beliau mengundang kami untuk melakukan diskusi kelompok terfokus tentang topik yang sangat penting, yaitu : bagaimana meningkatkan pemanfaatan analis kebijakan di instansi pemerintah ? Sambil menikmati secangkir kopi yang hangat, kami peserta diskusi terlibat dalam perbincangan yang seru dan penuh wawasan.
Saya mengusulkan sebuah ide yang mungkin terdengar sederhana, namun berpotensi sangat besar manfaatnya bagi instansi pemerintah, yaitu : menjadikan analis kebijakan sebagai bagian integral dari sistem penasehat kebijakan (policy advisory system) bagi para pembuat kebijakan (policy makers). Bayangkan jika setiap keputusan penting di pemerintahan didasari oleh analisis yang mendalam dan rekomendasi dari para ahli kebijakan. Bukankah itu akan membuat kebijakan publik kita lebih efektif, efisien, dan berdampak?
Terkait dengan sistem penasehat kebijakan ini, Hussain dkk (2023) menyebutkan bahwa ada dua bentuk sistem penasehat kebijakan berdasarkan lokasinya, yaitu internal dan eksternal. Pada sistem penasehat kebijakan internal, keberadaan para penasehatnya berada dalam satu organisasi dengan pengambil kebijakan. Sementara itu, pada sistem penasehat kebijakan eksternal, keberadaan para penasehatnya tidak berada dalam satu organisasi dengan pembuat kebijakan. Sekalipun kita─analis kebijakan─di instansi pemerintah berada dalam satu organisasi dengan penentu kebijakan, kita dapat belajar dari sistem penasehat kebijakan eksternal.
Untuk memperjelas ide ini, mari kita lirik sejenak ke Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang diketuai oleh Bapak Luhut Binsar Pandjaitan yang menjadi economic think tank untuk memberikan masukan mengenai strategi dan kebijakan ekonomi baik diminta maupun tidak diminta kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto. DEN ini ibarat “tim navigasi’ yang membantu “sang kapten kapal”, yaitu Presiden dalam mengarungi lautan kebijakan yang penuh tantangan. Mereka menyediakan peta, kompas, dan radar kebijakan yang terbaik agar perjalanan bangsa ini menuju kemakmuran berjalan lancar dan aman.
Nah, bagaimana kalau kita terapkan konsep serupa untuk tim analis kebijakan di setiap instansi pemerintah dalam mendukung pengambil kebijakan? Mari kita lihat beberapa pemikiran berikut ini untuk penerapannya.
Pertama, DEN menjadi bagian integral dari sistem penasihat kebijakan bagi Presiden. Sejalan dengan itu, penentu kebijakan di instansi pemerintah perlu membangun sistem penasihat kebijakan yang melibatkan para analis kebijakan di instansi mereka. Bayangkan jika setiap Menteri, Kepala Badan, Gubernur, Walikota dan Bupati, bahkan Dirjen, Deputi, Direktur, Kepala Pusat dan Kepala Dinas memiliki tim analis kebijakan yang selalu siap memberikan masukan. Sebagai contoh, ketika Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi hendak merancang kebijakan baru untuk pengembangan inovasi teknologi, tim analis kebijakan dapat menyajikan data dan analisis mengenai dampaknya terhadap kualitas perguruan tinggi dan industri di Indonesia, bahkan terhadap pendapatan negara.
Kedua, DEN diisi oleh para ahli di bidangnya. Begitu pula, tim analis kebijakan di setiap instansi pemerintah harus terdiri dari individu-individu dengan keahlian yang relevan. Kompetensi para analis kebijakan di instansi pemerintah harus terus ditingkatkan sesuai dengan standar kompetensi kerja pada jabatan analis kebijakan (Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia No 106 tahun 2018). Misalnya, jika Dinas Perhubungan ingin merumuskan kebijakan tentang transportasi umum, tim analis kebijakan sebaiknya mencakup ahli transportasi, ekonomi, dan bahkan psikologi sosial untuk memahami perilaku pengguna transportasi.
Ketiga, DEN terhubung dengan berbagai mitra, baik dalam maupun luar negeri. Sebagai contoh, DEN memiliki sejumlah global board advisors seperti Ruchir Sharma dan Ray Dalio dari Amerika Serikat untuk memberi masukan tentang ekonomi dan investasi global dan dampaknya kepada Indonesia. Tim analis kebijakan juga harus membangun jaringan yang luas baik dalam maupun luar negeri. Bayangkan jika analis kebijakan di Kementerian Lingkungan Hidup berkolaborasi dengan ahli perubahan iklim dari berbagai negara. Hasilnya? Kebijakan lingkungan yang tidak hanya bagus untuk Indonesia, tapi juga relevan secara global.
Keempat, Ketua DEN dan anggota DEN punya pengalaman sebagai pembuat kebijakan. Ini pelajaran penting! Tim analis kebijakan perlu memahami seluk-beluk proses pembuatan kebijakan. Mungkin bisa diadakan program magang atau rotasi, di mana analis kebijakan bisa “merasakan langsung posisi” dan “pengalaman” sebagai pengambil keputusan.
Kelima, DEN tidak hanya berkutat secara konseptual, tapi juga terjun ke lapangan. Ada tim DEN yang juga melihat bagaimana kondisi yang terjadi di lapangan. Ini kunci sukses! Tim analis kebijakan harus rajin turun gunung, eh, maksudnya turun ke penerima manfaat kebijakan atau masyarakat. Misalnya, ketika membuat rumusan kebijakan tentang bantuan sosial, mereka harus melihat langsung kondisi penerima bantuan. Bukan hanya angka di atas kertas, tetapi juga cerita nyata dari masyarakat yang akan terdampak dari rumusan kebijakan tersebut.
Bayangkan jika pengambil kebijakan di instansi pemerintah memiliki tim analis kebijakan yang bekerja dengan semangat dan pendekatan seperti DEN. Kebijakan tentang perbaikan jalan di desa terpencil tidak hanya didasarkan pada laporan di atas meja, tapi juga pengalaman langsung melewati jalan berlubang yang membuat punggung pegal. Atau kebijakan tentang digitalisasi pelayanan publik yang tidak hanya mempertimbangkan aspek efisiensi, tapi juga kemampuan orang-orang yang berumur lanjut yang baru belajar smartphone.
Dengan mengadopsi strategi DEN, maka penentu kebijakan yang ada di instansi pemerintah dapat mendayagunakan tim analis kebijakannya. Mereka dapat bertransformasi menjadi “awak kapal” yang cakap yang siap membantu “nakhoda kebijakan”─para pengambil keputusan di instansi pemerintah─dalam menjelajahi samudera kebijakan yang penuh dengan ombak perubahan dan karang tantangan. Mereka dapat menjadi mata dan telinga yang tajam, menyediakan peta jalur kebijakan yang tepat, serta mengidentifikasi arus peluang dan badai risiko, sehingga perahu kebijakan publik dapat berlayar dengan mulus menuju pelabuhan kesejahteraan masyarakat.
Mereka tidak hanya mengolah data dan teori, tetapi juga dapat memberikan “bumbu” berupa pengalaman lapangan dan perspektif yang beragam. Hasilnya? Kebijakan yang tidak hanya enak dibaca di atas kertas, tapi juga nikmat dirasakan oleh penerima manfaat kebijakan atau masyarakat.
Jadi, apa langkah selanjutnya? Bagi para pengambil kebijakan, buatlah sistem penasehat kebijakan di mana tim analis kebijakan dilibatkan sebagai partner strategis, bukan sekadar “tukang analisis”. Pahami bagaimana framework analisis kebijakan dan karakter dari kebijakan sektoral. Buku-buku mengenai analisis kebijakan yang ditulis oleh Bardach & Patashnik (2024), Meltzer and Schwartz (2019), Mintrom (2011), dan Weimer and Vining (2017) bisa dijadikan bahan bacaan untuk memahami tentang framework analisis kebijakan, di samping literatur-literatur terkait sectoral policy area seperti kebijakan pendidikan; pangan; kesehatan; energi; ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi yang menjadi kewenangan pengambil kebijakan sangat perlu untuk dipelajari. Libatkan mereka dalam setiap tahap pembuatan kebijakan mulai dari penyusunan agenda kebijakan hingga evaluasi kebijakan. Berikan mereka akses ke informasi dan sumber daya yang diperlukan. Berempati terhadap keluhan yang dialami dan disampaikan oleh penerima manfaat kebijakan dengan hati yang paling dalam.
Sementara itu, bagi tim analis kebijakan, saatnya keluar dari zona nyaman! Jangan hanya berkutat dengan laporan dan presentasi. Bangun jaringan, perkuat keahlian, dan yang terpenting, jangan takut untuk turun ke lapangan. Rasakan sendiri dampak rekomendasi kebijakan yang Anda analisis terhadap penerima manfaat kebijakan.
Dengan kerjasama yang erat antara pengambil kebijakan dan tim analis kebijakan, kita bisa menciptakan “resep kebijakan” yang tidak hanya enak di lidah, tapi juga menyehatkan “badan” negara. Ingat, kebijakan publik bukan sekadar dokumen, tapi cerminan kepedulian kita terhadap perbaikan iklim tempat bekerja, tinggal, dan kehidupan dari penerima manfaat kebijakan. Mari bersama-sama kita wujudkan kebijakan yang tidak hanya cerdas tertulis di atas kertas, tapi juga bijak di dalam praktiknya!
Kalau Anda merasa tulisan ini bermanfaat, jangan lupa tinggalkan komentar, ya! Dan jangan ragu untuk share ke teman-teman Anda agar mereka juga bisa belajar dari postingan ini. Terima kasih atas dukungan Anda untuk blog ini!
Dari acara ngopi bareng muncul ide yang cemerlang & dapat direalisasikan pada event sosialisasinya, boleh nih dibahas lebih lanjut.. Mantap
Baik, siap Pak Tjandra untuk dibahas lebih lanjut. Terima kasih.
Mantabs,
Terima kasih Pak Efendi.
Mantaap pak, idenya perlu segera disosialisasikan ke seluruh pemangku kepentingan di Indonesia terutama di daerah
Baik Pak Yulius.
Tks tulisannya.., mental model pengambil keputusan sangat diperlukan untuk membenchmark dari Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Mental model ini membantu penentu kebijakan memahami kerangka kerja dan prinsip utama yang digunakan oleh DEN.
Sama2 Pak Torang.
Menarik untuk disimak Pak Erry, alangkah baiknya ke depan tidak saja membahas policy analysis sebagai sebuah tools tetapi juga melengkapinya dengan studi kasus yang menggambarkan transformasi sistemik dari indikator makro ke indikator mikro dan sebaliknya di setiap sektor. Pendekatan secara kuantitatif bisa jadi tambah menarik. Terima kasih sharingnya Pak Erry.
Terima kasih Pak Wawan atas masukan yang sangat berharga ini! Saya setuju bahwa melengkapi pembahasan mengenai analisis kebijakan dengan studi kasus yang konkret dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai bagaimana model mental berfungsi dalam praktik.
Studi kasus dapat menunjukkan transformasi dari indikator makro ke mikro dan sebaliknya, serta bagaimana dampak kebijakan dapat diukur secara kuantitatif. Misalnya, dalam kebijakan peningkatan pendidikan, kita dapat melihat bagaimana indikator makro seperti tingkat partisipasi pendidikan dapat dianalisis lebih lanjut di tingkat mikro dengan mengevaluasi dampak pada prestasi siswa di sekolah tertentu.
Pendekatan kuantitatif juga dapat memperkaya analisis kita dengan menyajikan data dan bukti yang lebih terukur, sehingga memungkinkan pengambil kebijakan untuk membuat keputusan yang lebih berbasis bukti. Untuk ke depan, saya akan mempertimbangkan masukan Pak Wawan. Dan terima kasih juga sudah menyemangati untuk terus mengembangkan konten ini!